Jumat, 29 Juli 2011

Award Lingkungan Hidup WALHI MALUT buat Pendeta Tjantje G. Namotemo


Oleh: Ismet Soelaiman
Eksekutif Daerah WALHI MALUT


Radar Halmahera, senin 04 juli 2011


Indonesiaku masih tegak
Karena doa orang – orang tertindas
Yang didengar Tuhan
Karena Doa mereka
Menembus ketujuh petala langit
Tanpa hijab

Penggalan puisi yang mengawali tulisan ini, adalah buah tinta Syaiful Bahri Ruray (Ko’ Ipul), dengan judul Atas Nama Rakyat, merupakan salah satu puisi dari kumpulan puisi Mata Hati dan Nafas Kehidupan (Pustaka FOSHAL, 2005). Bagi saya, puisi adalah nyanyian hati, sebuah bahasa sastra dengan kandungan berjuta makna. Mengalir tanpa kemunafikan, sesuai rasa yang lepas tanpa bungkus topeng kamuflase ke-genitan intelektual (jika memang demikian sebuah karya sastra itu mesti lahir). Tulisan ini tak bermaksud menggugat penggalan puisi diatas, karena hal yang sama pun saya yakini, bahwa negeri ini masih tegak, karena rakyatnya masih mau mengakui dan bernaung didalamnya. Karena, kami – yang adalah bagian dari rakyat itu, masih mau mencintainya.

Merah putih masih berkibar, diujung perahu sebuah sampan nelayan. Meski, atas nama Negara, sebuah investasi pertambangan harus memaksa mereka mengungsi dari kediaman tanah leluhur. Itulah akhir dari rekaman film documenter Bye – Bye Buyat. Lalu, dalam bait berikut dari puisi Atas Nama Rakyat, tinta Ko’Ipul bergumam,  “Seandainya tanpa mereka (rakyat – pen), dan tinggal hanya para elit saja yang berasyik masyuk bertikai untuk kepentingan diri dan kelompok semata, maka kuyakin Indonesiaku telah lama tiada, karena tercabik – cabik oleh perseteruan elit yang tiada habisnya”, closing bait.

Yah, sang Elit di negeri ini sangat hobi bertikai. Dan “kita” hanya terlongo menjadi penonton bisu yang setia. Tapi, bukan elit yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengabarkan, bahwa di Jazirah Maluku utara, seorang rakyat – Pejuang Lingkungan Hidup telah lebih dulu menggapai kedamaian disisi Sang Pencipta. Adalah Bapak Pendeta Tjantje G. Namotemo (Pak Pendeta). Untuk itu, kami – Keluarga Besar WALHI, mengangkat topi dan membukuk sedalam – dalamnya dengan penuh keikhlasan.

SANG PEJUANG DALAM SECUIL REKAM JEJAK
“Saat itu, jumlah massa rakyat, cukup banyak. Mencapai ratusan orang yang menduduki Hutan Adat Soa Pagu di Toguraci, lokasi operasi PT. NHM, pada tahun 2004. Lalu tertembaklah si Rusdy Tunggapi, dan ia pun meninggal. Saya dan rekan – rekan disuruh jalan jongkok. Lalu beberapa orang dari kami, termasuk saya, dibawa ke Kepolisian Ternate. Sampai akhirnya kami bebas dan balik kembali ke kampung,” bertutur Pak Pendeta, suatu sore di pelataran rumahnya di Desa Balisosang. Saat itu kalender Masehi menunjukkan bulan februari 2010, saya dan beberapa kawan menyempatkan diri berkunjung di rumahnya.

Pak Pendeta bertutur lugas, tanpa sedikitpun kesan heroisme, tergambar dari raut wajahnya yang teduh penuh ketegasan itu. Tidak seperti (maaf) sebagian kalangan “aktivis” muda (juga saya tentunya) yang berkisah tentang heroisme aksi jalanan kami. Ia hanya bertutur tentang hak rakyat yang mesti direbut, dan kewajiban Negara (state apparatus) yang mesti dituntut. “Karena kita adalah pemilik syah republic ini dan merupakan bagian dari terbentuknya sebuah Negara, bukan begitu ?”, demikian kalimat Tanya penuh ketegasan, yang sering ia sampaikan kepada kami.

Ketika menulis catatan Award ini, saya teringat akan kisah suku Inca, yang ditulis dengan apik oleh Kim Macquarrie, dalam bukunya; Hari – Hari Terakhir Bangsa Inca (Kompas Gramedia, 2010).  Buku setebal 583 halaman itu, menceritakan cukup banyak kisah dari keterdesakan suku Inca oleh keserakahan Bangsa Spanyol atas kilauan emas di zaman itu. Ada banyak tokoh yang diulasnya, namun disini, saya hanya mengutip, bagaimana Manco Inca akhirnya menjadi kaisar boneka, setelah kakaknya Atahualpa, yang merupakan kaisar pertama meninggal dibunuh Spanyol. Ketika Manco Inca mulai resah dengan keberadaan Spanyol yang terus menerus menjarah emas suku Inca, serta ingin mempersunting istrinya, Sang Manco bertanya kepada Kompeni Spanyol, sampai kapan mereka akan berada di daerahnya. Kompeni Spanyol menjawab, “biar gunung dan daratan kalian berubah menjadi EMAS, kami tidak akan pernah puas dan kami tidak akan meninggalkan daerah ini”. Lalu sang Manco Inca bangkit melawan, mengusir  para kompeni Spanyol yang menjajah dan menjarah emas dinegeri mereka. Meski akhirnya mereka tetap kalah dan hilang dari peradaban bumi, namun yang terpenting adalah mereka tak tinggal diam dalam penjajahan, mereka bangkit melawan.

Namun Pendeta bukanlah Manco Inca. Bapak Pendeta adalah seorang Putra Pagu, yang dilahirkan dengana nama Tjanje G. Namotemo, pada 6 maret 1954 di Desa Balisosang. Senantiasa memilih hidup dan mengabdi di tengah – tengah masyarakatnya. Membangun kebun kecil di pelataran rumahnya, agar fungsi tanah sebagai sang pemelihara kehidupan senantiasa menjadi makna siraman rohani kesehariannya. Menjadi Tokoh masyarakat, yang senantiasa teguh memperjuangkan permasalahan aras bawah rakyat Balisosang, dan mereka yang senantiasa dirampas haknya.

Saya tak mau lancang melampaui rasa kebersamaan Pak Pendeta dengan keluarganya. Tapi dalam beberapa sesi paruh waktu dalam kehidupan, kami sering berbincang, baik itu secara langsung, maupun via telpon karena terpisah jarak. Atas inisiatifnya, di bulan juni 2010, saya bersama beliau, serta dua orang kawan sempat ketemu dengan beberapa anggota legislative Halut di Tobelo untuk menyampaikan persoalan warga Balisosang. Beliau pula di bulan juni 2010, yang meminta WALHI MALUT untuk mengirimkan surat resmi untuk hearing dengan pihak legislative Halut, terkait persoalan warga Balisosang.

Pada tanggal 19 maret 2010, lewat telepon, ia menyampaikan tentang pipa tailing PT. Nusa Halmahera Mineral’s (NHM), yang terlepas dan menumpahkan limbah tailingnya, pada 18 juni 2010 pukul 19.00 malam – 08.00 WIT pagi hari. Beliau bersama para tokoh masyarakat serta aparat Desa akan mengirimkan surat protes ke Bupati Halmahera Utara. Dan surat itu kemudian dilayangkan pada tanggal 23 maret 2010, dengan nomor: 660.3/01/2010, yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat serta aparat Desa Balisosang.

Pada bulan oktober 2010, Beliau mendapat undangan via WALHI MALUT, untuk hadir dalam salah satu event di Mataram, namun kesehatannya mulai menurun. Pak Pendeta tak bisa menghadiri event tersebut, karena harus istirahat di rumah sakit. Beliau tak pernah tahu, betapa di Mataram, Ia telah menjadi seorang sosok, yang ingin dijumpai oleh banyak pihak, tuk sekedar menimba pengalaman dari tutur kisahnya. Teringat, sejak saat itu, rumah sakit menjadi tempat langganan untuknya beristirahat, melawan penyakit yang terus menggerogoti paruh waktu hidupnya. Meski dalam keadaan terbaring sakit, Beliau masih menyempatkan waktu tuk berdiskusi pada tanggal 20 oktober 2011, terkait penyusunan surat protes atas pernyataan Mentri Lingkungan Hidup tentang NHM.

Pada tanggal 12 februari 2011, saat hari telah gelap, Pak Pendeta kembali menghubungi kami. Karena saat itu sedang ada sedikit kerjaan, saya langsung menjawab telponnya dengan mengucapkan Salam dalam Islam, Pak Pendeta menjawabnya juga dalam Islam. Sesaat saya sadar, lalu meminta maaf, karena sudah menjadi kebiasaan, beliau menjawabnya dengan ramah, “mengutip Gusdur, yang penting adalah maknanya,” ucap Pak Pendeta. Sederhana, namun bijak. Malam itu, beliau kembali mengabarkan tentang Pipa Tailing PT. NHM yang terlepas lagi untuk kali kedua, yang terjadi pada tanggal 3 februari 2011, pada jam 11 malam. Pak Pendeta terus mengabarkan kejadian – kejadian di kampung, yang merugikan masyarakatnya.

Pada bulan April 2011, dua orang kawan wartawan dari Harian Kompas dan Tempo, tertarik tuk mengangkat profil sang pendeta. Mereka ke Desa Balisosang, tapi tak menjumpainya, karena pada saat itu, beliau kembali harus beristirahat di Rumah Sakit Tobelo. Kawan wartawan dari Kompas, masih meneruskan upayanya untuk mewawancarai Sang Pendeta di Tobelo, namun mungkin karena nasibnya kurang beruntung, meski sudah di Tobelo, ia tak menjumpai Sang Pendeta. Bapak Pendeta Tjante yang penuh keikhlasan, tak pernah tahu, jika Ia telah menjadi seorang sosok. “Saya hanya mau bersama warga memperjuangkan hak kami,” demikian ucapnya, suatu ketika dipertengahan april 2011, saat ia harus ke Jakarta, untuk memeriksa kesehatannya. Saat itu, Beliau menjadi salah satu dari 3 perwakilan masyarakat lingkar tambang di Indonesia, yang diundang dalam even Public Hearing on CSR & ASEAN, pada tanggal 02 mei 2011 di Jakarta. Namun, event tersebut juga, tak bisa Ia hadiri, karena factor kesehatan yang sudah tidak memungkinkan.

Tanggal 03 juni 2011, dengan bahasa yang sudah semakin lemah, ia masih mau mengabarkan kepada kami, tentang pipa limbah NHM yang bocor untuk ketiga kalinya. Tanggal 4 juni 2011, kami masih berdiskusi dengan beliau terkait dengan kondisi warga dikampung, serta meminta mandat apa yang mesti dilakukan oleh WALHI MALUT. Surati Mentri Lingkungan Hidup, itu langkah yang mesti diambil. Tanggal 5 – 6 juni 2011, ketika Surat ke Mentri Lingkungan Hidup sudah selesai dan siap dikirimkan, Pak Pendeta sudah tak bisa lagi dihubungi. Jumat Siang, tanggal 10 juni 2011, kabar duka itu kami terima, Bapak Pendete Tjanje G. Namotemo telah kembali dengan kedamaian dalam pangkuan Bapa di Surga.

UNTUK SEGALA PERJUANGAN MU

Banyak kisah suram dan ketertindasan rakyat di lingkar investasi skala massive dan padat modal, yang tak terekspose ke public. Panjang pula kisah perjuangan mereka, hanya untuk sekedar meraih kedaulatan atas sumber – sumber penghidupan yang sehat dan bersih dari kotoran limbah. Namun, tak sedikit pula perjuangan itu menjadi bola panas yang asyik dimainkan oleh para elit dan orang tertentu, tuk meraih kemewahan pribadi. Inilah letak kelemahan mental inlander dari wajah negeri yang semakin rapuh dikuasai asing.

Namun, tidak buat Pendeta Tjanje G. Namotemo. Terlalu banyak fakta dan kisah perjuangannya bersama warga, yang tulus dan ikhlas tuk sekedar meraih kedaulatan atas sumber kehidupan. Ia tak pernah tahu, mungkin juga peduli, jika ia telah menjadi seorang sosok. Sosok Pejuang Lingkungan Hidup, dimata Berry Nahdian furqon (Direktur eksekutif Nasional WALHI), Riza Damanik (Sekjend Kiara), Kusnadi W Saputra (Sekjend SHI), Mba Alien (Dewan Nasional WALHI), serta kawan – kawan penggiat Lingkungan Hidup yang lain. Beliau hanyalah seorang Pendeta, yang senantiasa membangkitkan semangat perjuangan lewat Khotbah – Khotbahnya (pengakuan warga Balisosang 2 hari setelah kepergiannya).

Untuk segala perjuangan mu, penuh keikhlasan kami tundukkan badan. Selamat jalan Pejuang Lingkungan Hidup dan Hak asasi Manusia. Semoga semangat perjuangan mu terus mengalir pada darah generasi kami.

“Indonesiaku masih tegak, jelas bukan karena hasil karya para elit. Tetapi semua itu dilakukan atas nama orang tertindas, yang bernama rakyat. Lalu benarkah itu ?”, demikianlah tiga bait terakhir bahasa hati Ko Ipul yang tertoreh Atas Nama Rakyat. Pertanyaan bisu, butuh jawaban bisu. Wassalam.
Diposkan oleh Walhi di 12:05 http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar